Halaman

Sabtu, 07 September 2013

MISTERI SEJARAH PERANG DUNIA II DI DURI



Tugu 1 Milyar Barel

GM Policy, Government, and Public Affair PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Usman Slamet mengatakan fakta sejarah terkait Perang Dunia II yang belum terkuak di area ladang minyak perusahaan di daerah Duri, Provinsi Riau sangat penting untuk dikaji untuk kepentingan bersama.

"Karena sampai sekarang belum ada dokumentasi terperinci mengenai sejarah Perang Dunia II di Duri" .
 
Di Duri tepatnya di Komplek CPI terdapat monumen untuk Korban Perang Dunia II , monumen ini didedikasikan untuk para korban kekejaman perang yang tak diketahui identitasnya. Kapan monumen itu didirikan dan siapa yang mendirikannya, ini juga menjadi misteri.

Bukti adanya sejarah Perang Dunia II di Duri sejauh ini baru bisa diketahui dari keberadaan monumen di tengah pemakaman, yang ada di Komplek Sago CPI tak jauh dari landasan helikopter. Pada bagian atas monumen itu ada tulisan berwarna emas dengan dua bahasa: "Monumen Korban Perang Dunia-II/`Monument of World War-II Victim".

"Sayangnya Pemerintah Daerah (Pemda) Riau dan Chevron kurang merawatnya, apalagi mengungkap sejarah yang sebenarnya. Sedangkan, warga Duri yang mayoritas pendatang juga tak banyak tahu sejarah itu, apalagi bisa melihat monumennya, karena tak bisa sembarangan masuk ke area komplek CPI.
 
Sejarah monumen itu berawal ketika Chevron menemukan banyak tulang belulang terkubur saat proses pembuatan infrastruktur migas di Duri pada tahun 1950-an. Kuat dugaan tulang belulang itu merupakan korban kerja paksa di zaman penjajah Jepang atau Romusha.

Tulang belulang itu dipindahkan ke lokasi yang sekarang berdiri monumen di komplek Chevron, dan perusahaan saat itu mengakui bahwa mereka adalah korban Perang Dunia II. Pada saat Perang Dunia II pada awal tahun 1940-an Jepang menguasai dan mengambil alih fasilitas Migas di Duri hingga Minas, bahkan,
Jepang saat itu juga membangun rel kereta api karena menduga ada kandungan emas di Duri. Bukti rel kereta api masih ada di daerah Balai Raja yang dahulu dibangun oleh rakyat Indonesia yang dijadikan Romusha.

Jumat, 06 September 2013

Sejarah Penyerahan Riau ke Indonesia

Istana Siak
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk Indonesia
Sungai Siak yang mengalir di kota Siak Sri Indrapura dilihat dari jembatan Tengku Agung Sulthanah Latifah

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaSebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.

Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.

Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas UntukIndonesiaPada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Dan oleh bangsa Eropa menyebutnya sebagai The Sun Palace From East (Istana Matahari Timur).

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaPada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaSultan As-Sayyidi Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin II atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Dia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim.
Raja Siak Sri Indrapura


Riau di bawah Kesultanan Siak pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Kasim Sani (Sani=dua). Ketika Jepang kalah, ikatan Hindia Belanda lepas, Sultan Syarif Kashim menghadapi 3 pilihan: berdiri sendiri sperti dulu?, bergabung dg Belanda? atau bergabung dg Republik? Sultan sebagai sosok yg wara' dan keramat melakukan istikharah. Saya kuat menduga Allah memberitahu SSK agar bergabung dg Republik karena kekayaan Riau yg sangat berlimpah dan berlebihan kalau sekedar dikuasai sendiri.Maka Sultan menentukan pilihan bergabung dg Rep. Mendukung NKRI. BERGABUNG, bukan menyerahkan diri.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaSultan menurunkan modal 13 juta Golden (3x nilai kompleks gedung Sate, Bandung), bersama2 dg para komisaris lainnya di PT. NKRI (Deli, Asahan Siak, Yogya, Solo, Kutai kartanegara, Pontianak, Ternate, Tidore, Bali, Sumbawa-daerah-daerah yg termasuk Zelfbestuuren-berpemerintahan sendiri pd jaman pendudukan Belanda di nusantara).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.

Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk Indonesia Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.

http://www.sungaikuantan.com/2009/12/kerajaan-siak-sri-indrapura-warisan.html

Pengobatan Tradisional Suku Sakai

Selasa, 03 September 2013

SAKAI MEMPERTAHANKAN JATI DIRINYA



Sakai Tempo Dulu
Dalam kurun waktu 20 tahun telah terjadi perubahan besar-besaran terhadap budaya Sakai, salah satu suku asli di Provinsi Riau. Perubahan tersebut terjadi terhadap budaya berpakaian, bahasa dan hingga kesenian.
Penilaian tersebut disampaikan sendiri oleh salah seorang masyarakat suku Sakai yang tinggal di Negara Jerman Mohamad Agar Kalipke MA,. Dalam 20 tahun Suku Sakai di Riau sudah banyak mengalami perubahan. Tidak hanya pada kehidupan sehari-hari seperti cara berpakaian, bahasa, hingga lagu-lagu, tetapi adat juga banyak bergeser. perubahan yang terjadi ini bukanlah hal yang harus dihindari akan tetapi hendaknya perubahan tersebut tidak meninggalkan adat dan budaya asli Suku Sakai. Saat ini sudah susah membedakan mana masyarakat Sakai dengan masyarakat kota. Masyarakat Sakai sudah berpakaian seperti orang kebanyakan, sedikit-sedikit meninggalkan bahasanya bahkan lebih suka menyanyikan lagu-lagu Pop dan barat, tidak salah melakukan hal itu, tapi janganlah sampai mengabaikan adat sendiri. Pokoknya sudah banyak perubahan yang ekstrim. Suku Sakai adalah komunitas asli yang hidup di daratan Riau. Selama ratusan tahun mereka tinggal di hutan dan daerah pedalaman dan hidup berpindah-pindah. Belakangan, suku Sakai semakin tergusur seiring terus berkembangnya pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di Riau di kawasan hutan yang sebelumnya merupakan tanah suku Sakai.Hutan-hutan yang dikelola oleh perusahaan itu ternyata dinilai tidak membawa keuntungan bagi masyarakat Sakai sendiri, bahkan suku yang lekat dengan hutan dan rimba ini tidak bisa memasuki wilayah hutan tanaman industri yang dikelola perusahaan. Namun demikian tidak semestinya menyalahkan perusahaan-perusahaan yang telah menggusur masyarakatnya itu karena perusahaan tersebut beroperasi atas izin pemerintah. Justru yang harus disalahkan adalah pemerintah yang tidak mempertimbangkan baik-buruknya izin yang diberikan tersebut terhadap kehidupan masyarakat asli.
            Masyarakat Sakai sebenarnya belum siap dengan kehidupan modern karena Sakai sudah terbiasa dengan kehidupan di hutan. Mereka memiliki adat, wilayah dan ulayat sendiri. Akan tetapi pemerintah tidak memperhatikan dan mempertimbangkan hal seperti itu. Tiba-tiba hutan-hutan milik masyarakat sudah punah, berharap pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Riau untuk memperhatikan persoalan yang dihadapi masyarakat Suku Sakai ini. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Sakai tidak bisa dipaksakan hidup modern seperti kebanyakan masyarakat lainnya.
Lalu apa yang menjadikan suku Sakai semakin tergusur dan tertinggal?
Ada beberapa hal yang menjadikan Suku Sakai seperti saat ini. Diantaranya pendidikan yang sangat terbatas sehingga banyak masyarakat luar yang datang hanya untuk menjual lahan-lahan milik mereka.
Ketika tidak memiliki lahan lagi mereka terpaksa menjadi buruh kasar, ingin jadi PNS itu hanya bagi orang-orang tertentu saja, dan ketika mau menanam ubi mereka tidak lagi memiliki lahan.
Oleh sebab itu ia berharap pemerintah untuk mempertimbangkan segala kebijakan yang dikeluarkan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sakai.

Sabtu, 31 Agustus 2013

Sakai, Transformasi Suku Pedalaman Melayu







Sakai Sekarang

Kearifan lokal suku asli masyarakat Melayu-Riau.


Banyak pesan moral aktual dari budaya suku asli itu. Tari olang-olang, sebagai contoh, menunjukkan pesan bahwa seburuk-buruknya bumi, ia masih memiliki kebaikan sehingga dirindukan oleh alam kahyangan atau langit.

“Jadi, harapan untuk memperbaiki diri dari berbagai kesalahan masih terbuka lebar dan harus dimanfaatkan,” ujar budayawan Riau.

Suku Sakai merupakan salah satu suku asli di Riau, selain Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut. Suku-suku ini merupakan komunitas asli suku pedalaman Riau yang tergolong dalam ras Veddoid, dengan ciri-ciri kulit berwarna cokelat kehitaman dan rambut keriting berombak. Tinggi tubuh laki-lakinya sekitar 155 sentimeter dan perempuan 145 sentimeter.

Suku Sakai diyakini sebagai, “Mereka merupakan identifikasi perpindahan manusia dari Asia ke Nusantara pada 3.000 tahun sebelum Masehi,” kata budayawan Riau, Taufik Ikram Jamil.

Populasi Suku Sakai tersebar mulai Riau hingga Jambi. Namun, yang paling banyak terdapat di Kabupaten Bengkalis. Kementerian Sosial mencatat, jumlah orang Sakai di Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.

Suku Sakai hidup di hutan belantara. Di sanalah mereka mencari nafkah dari hasil berburu, menangkap ikan, dan hasil hutan. Suku ini masih melestarikan berbagai upacara adat, seperti upacara kematian, kelahiran, dan pernikahan. Mereka juga memiliki ritual khusus untuk berbagai peristiwa penting dalam hidup mereka, seperti untuk menanam padi, menyiang, sorang sirih, dan tolak bala. Untuk berkomunikasi, mereka menggunakan bahasa Melayu bercampur Minangkabau dan Mandailing.

Sebagian orang Sakai menganut animisme, yang mempercayai keberadaan “antu” atau makhluk gaib yang hidup layaknya manusia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak penduduk Sakai yang memeluk agama Islam. Meski begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktekkan ajaran nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur animisme, dinamisne, magis, dan makhluk halus.

Interaksi dengan manusia luar membuat pekerjaan mereka kini menjadi beragam, seperti guru, pegawai negeri, dan pedagang. Keinginan untuk berubah yang dipadu dengan program beasiswa dari pemerintah setempat membuat beberapa anak-anak suku Sakai menempuh pendidikan, bahkan hingga perguruan tinggi.

Salah seorang anak asli suku Sakai, Muhammad Candra, mewakili Provinsi Riau sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Istana Negara pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus lalu.

Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/09/17/203430033/

Kamis, 29 Agustus 2013

Orang Sakai merupakan sekumpulan masyarakat yang terasing dan hidup masih secara tradisional dan nomaden pada suatu kawasan di pulau Sumatera, Indonesia.



Sakai tempo dulu

Asal Usul
Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.
Rumah Masyrakat Sakai dari Kulit Kayu

 Arti Nama Sakai


  1. Menurut cerita orang-orang Sakai jaman dahulu nama Sakai itu diberikan dimasa penjajahan jepang yang pengertiannya lebih kurang orang-orang yang tidak mau dijajah atau orang kuat dikarenakan bisa hidup berpindah-pindah didalam hutan
  2. Versi masyarakat umum sekarang nama Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya, mereka adalah anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan.


Sebutan Suku Sakai yang primitif, menyendiri kini mulai diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal yang kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau. Kini anak-anak Sakai sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga Sarjana, sudah banyak bekerja diperusahaan-perusahaan nasional bahkan multinasional seperti PT. Chevron Pacific Indonesia, PNS, POLRI, Putra asli suku sakai Muhammad Chandra, siswa kelas XI IPA 2 SMA Cendana Duri Kabupaten Bengkalis, lolos menjadi pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Istana Negara pada 17 Agustus 2012.

Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat animistik. Masyarakat Sakai sekarang telah memeluk Agama Islam, namun budaya mereka tetap mempraktekkan kepercayaan nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis.

Lebih Maju

Kehidupan masyarakat Sakai saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh pendatang serta pekerja perkebunan dari tanah Jawa, Medan, Padang dan juga beberapa daerah di Sumatra lainnya. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani. Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi, telah mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup suku sakai.
Pengobatan Suku Sakai
Mereka kini jarang yang hidup di hutan, tetapi menetap bersama-sama dengan pendatang. Kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini berganti dengan agama seperti Islam. Sehingga keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut 'Antu, tidak lagi menyelimuti kehidupan mereka. Anak-anak Suku Sakai pun sudah memasuki sekolah.